Nurulfahmy’s Weblog

maka biarkan aku menuliskan kata-kata

persoalan kritik seni

Oleh Nurul Fahmy

Tafsir terhadap teks atau peristiwa seni (teater) sepenuhnya akan berada pada audiens. Penonton dengan ragam horizonnya adalah penguasa tunggal atas tafsir dari suatu peristiwa seni. Namun cerita akan menjadi lain ketika ulasan, atau katakanlah kritik teater dihadirkan dalam bentuk tulisan ke dalam ruang baca kita.

Narasi (tafsir) tentang teater yang dihadirkan cenderung—disadari atau tidak—mengelaborasi atau justru menegasikan makna, dan semakin menjadi tak karuan bentuknya di kepala pembaca, sebab proses pembentukan resepsi ini akan tergantung sepenuhnya kepada sudut pandang dan horizon penulis (kritikus). Otoritas penonton dalam menafsir peristiwa (seni), dengan demikian telah tertransformasikan oleh penulis (kritikus) kepada pembaca.

Sepenuhnya ini adalah resiko. Reportase atau kritik pementasan dalam bentuk data tertulis bukan lagi rekaman sebuah peristiwa on the spot. Ia adalah analisa, sudut pandang, sekaligus cermin ketakberdayaan penulis (kritikus) ketika berhadapan dengan realitas yang kompleks, semisal pementasan teater. Tulisan kehilangan objektifitasnya sebab keterbatasan sudut pandang dan lebih lagi libido—hasrat untuk terus bereksistensi—parsial “si kritikus”. Padahal di sudut lain—di sudut yang tak terkatakan dan tak tertembusi oleh indra penulis—ada realitas yang di(ter)tekan, di(ter)sembunyikan, di(ter)abaikan, bahkan dianggap angin lalu, yang padahal belum tentu sepele bagi yang lain.

Memposisikan diri sebagai penonton sekaligus “kritikus” dalam sebuah peristiwa seni (teater) memang seperti memikul beban ganda. Ada semacam tanggung-jawab moral yang mesti dipikul dalam mentransformasi “pesan” sebuah peristiwa kepada pembaca. Tanggung-jawab serupa ini setidaknya musti diawali dengan cara pandang yang proporsional. Kritikus sedikitnya mesti mempunyai “kacamata tiga dimensi”—dalam terminologi Iqbal “mata rajawali”—yang mampu menangkap hal-hal lain yang “tak terjamah” oleh penonton kebanyakan. Dan menguraikannya kepada pembaca.

Disinilah sejatinya peran kritikus. Menerjemahkan karya dengan pisau analisa dan dengan cara pandang yang lain. Kritik bukan “vonis mati” atas karya seni. Kritik yang baik mengandung sejumlah pertanyaan, tawaran-tawaran dengan alternatif-alternatif jawaban yang meniscayakan kemungkinan-kemungkinan. Sebab keniscayaan seni sejalan dengan keniscayaan manusia yang relativitasnya sejalan pula dengan alam semesta. Bukan menjual “kecap nomor tiga” dengan berlindung pada disiplin ilmu atau latar belakang si kritikus. Dan kemudian dengan semena-mena menuding sebuah karya sebagai yang “jelek”, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya ia katakan, selain refleksi ketidakmengertian belaka yang berujung pada sikap apatis.

Kritikus seperti ini laiknya seorang yang menggebu datang ke sebuah kamar potong dengan bermodalkan sebilah pisau cukur dan berencana mendemonstrasikan tehnik mencukur bulu-bulu si kerbau kepada khalayak. Celakanya, yang dijumpainya bukan lagi seekor kerbau, melainkan satu unit traktor baja. Namun begitu, dipaksa-paksakan juga untuk mencukurnya, sembari berujar, “ah, kerbau sinting ini pasti sudah memakan besi, sehingga kulitnya keras begini, dan anehnya tak sehelai bulu pun melekat di tubuhnya.”

Dan jika ada pementasan teater yang ‘buruk’, sebagaimana yang kerap digunjingkan oleh para “kritikus”, maka tentu saja ada kritik yang buruk. Ulasan yang gagap. Tulisan yang tak mampu mengurai apa yang sebenarnya terjadi di atas panggung. ‘Kritik buruk’ ini lebih menjadi persoalan ketika banyak penulis atau kritikus telah (hanya) menjadikan salah satu unsur (subjektif), atau bahkan mengeneralisasi semua unsur ke dalam satu frame kritik atau reportase mereka secara banal. Kritik “basa-basi” ini bisa jadi mengundang skeptisme berlebihan terhadap karya seni, sebab terpenggal-penggal sedemikian rupa, sebab pandangan yang parsial itu. Seni kemudian berhenti menjadi barang hiburan belaka, tanpa nilai lain.

Jika sudah begitu, jadilah ini “dosa” para kritikus dan penulis. Sebab, sebagaimana kita mengharapkan pertunjukkan teater yang baik, yang masing-masing unsurnya bersinergis secara harmonis, yang membentuk kesatuan estetis yang sarat dengan pesan-pesan universal. Maka, pembaca semestinya juga menuntut hal yang serupa dari penulis (kritikus). Tidak dengan menonjolkan kekurangan salah satu unsur, tapi seketika itu juga menyembunyikan kelebihan unsur lainnya. Kritik kemudian tak lebih sebagai solilokui atau gumam ketidakmengertian penonton yang memetamorfosiskan dirinya sebagai “kritikus” terhadap realitas yang dihadapinya. Agaknya inilah maksud Marshall McLuhan dalam kata-katanya yang terkenal itu, “medium is message”. Tulisan merupakan representasi horizon sang “kritikus” yang tekstual dan banal.

Seharusnyalah kritikus bertopang pada nilai-nilai standar dan teori-teori baku dalam seni, namun tidak dengan begitu saja mengenyampingkan fenomena yang terjadi. Seni, termasuk juga di dalamnya teater, sebagaimana fenomena sosial lainnya, cenderung bergerak dan berubah. Kreatifitas menjadi landasan utama dalam berkesenian. Dengan kata lain, tak ada hal baku yang musti dipertahankan dalam karya seni, kecuali estetika itu sendiri dengan mengolahnya mengunakan nilai-nilai rasa. Untuk itu, memaksakan wacana seni dengan frame literer tentu berpotensi menjadi kejahatan normatif dan diskursif. Sebab, wacana seni seringkali hadir tidak secara verbal dan eksplisit, melainkan acap wujud secara metaforik.

Seketika saya teringat Sigmund Freud dengan Psikoanalisanya. Otoritas manusia dalam menafsir, memberi arti, baik dirinya atau sesuatu di luar dirinya tidak sepenuhnya otonom, demikian katanya. Kesadaran manusia berkelindan dengan ketaksadarannya. Ketaksadaran yang dihunjamkan dan dikonstruksikan sebelum kesadarannya tumbuh dewasa, dan sebagian lain ditentukan serta dikonstruksi oleh naluri insting libido untuk terus hidup. Marx dan para revisionisnya, semisal Lucac dan Gramsci kemudian “merampungkan” tesis ini dengan menyatakan, kesadaran manusia terkonstruksi oleh faktor eksternal dan klas-klas sosial yang berkuasa dan menguasai ketaksadarannya. Faktor eksternal itu—ekonomi, kondisi sosial, bahasa, budaya, ideologi dan sebagainya—setidaknya berperan dalam membentuk kesadaran sebagai manusia dalam relasi sosialnya.

Lantas, bagaimana jika ketaksadaran (bawah sadar) itu terbentuk—atau dibentuk—sebagai mental kaum-kaum “terperintah”, marjinal secara budaya oleh pola pendidikan warisan feodal-kolonial? Mental budak yang terbiasa diperintah dalam hierarki struktural dan relasi binner, sebab-akibat, baik dalam masyarakat maupun birokrasi lainnya yang berpengaruh terhadap “carabaca”-nya?

Jelas yang terekspresi darinya adalah sejenis “kemunafikan” (dalam istilah saya). Kemunafikan seperti ini—kemunafikan yang meluap akibat libido untuk terus survive dan bereksistensi—agaknya sering juga kita lakukan, tak terkecuali kritikus. Tapi pesimisme berlebihan jelas bukan satu-satunya jalan keluar, setidaknya Einstein, sebagai orang yang tahu bagaimana produktifnya akal atau nalar manusia dalam memecahkan problem kehidupan dan alam semesta pernah mengatakannya, sebagaimana dikutip Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya (Tempo, 15 Januari 2006). “Ada sifat dalam nalar yang membatasi pendekatan manusia kepada dunia. Bila kita tak berdosa kepada nalar, kita tak akan ke mana-mana.”

* * *

Nurul Fahmy,

Esais, tinggal di Jambi

foto lukisan berjudul “inikah demokrasi” . karya Hanafi, cat minyak di atas kanvas, 150X200cm. 2008. foto:faiz

September 29, 2008 Posted by | essai | 1 Komentar

Spirit Entrepreneurship

“Ketegangan” antara agama dengan negara dalam masyarakat industri ekonomi liberal telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Arus dari ketegangan ini menjalar kepada pencitraan “pasar” yang dihembus-hembuskan oleh kaum kapitalis yang jelas-jelas menolak nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam rasionalisasi produksinya. Puncak ketegangan dalam masyarakat industri ini melahirkan gerakan antipasar dari sayap kiri (masyarakat ekonomi sosialis), sementara di sisi lain menumbuh-suburkan benih-benih masyarakat pasar.

Melalui pola pendidikan kolonial yang sekuler, agama yang disimbolisasi dengan belajar dan bekerja sebagai ritual ibadah dalam Islam dan “pasar” yang disimbolisasi oleh entrepreneurship semakin menunjukkan watak polarisasinya. Dalam konteks yang berbeda, agaknya cerpen Robohnya Surau Kami A.A Navis dapat dijadikan potret kecenderungan sekularisasi itu pada zamannya. Namun, meski lebih dari setengah abad berselang sejak cerpen satir tersebut pertama kali diterbitkan pada 1957, sekularisme bagai sekat yang berkarat antara tembok dapur dengan ruang belajar dan ruang ibadah dalam masyarakat.

Dalam perkembangannya, pola pemisahan ini berjalan sebagai dua kutub yang semakin berlawanan. Pola pendidikan sekuler tidak saja membentuk watak pasar yang kapitalistik, tapi lebih jauh telah meluluh-lantakkan tatanan sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakat (Kuntowijoyo). Masyarakat terpecah ke dalam dua sistem ekonomi yang saling menghancurkan. Di satu pihak sistem ekonomi liberal melejit menjadi kekuatan dahsyat yang mengatur pasar dan masyarakat, di pihak yang lain, Islam benar-benar terpuruk dalam persoalan pelik di sekitar wilayah ekonomi ini. Umat menjadi pasif dan cenderung reaktif, teralienasi dari lingkungannya sendiri. Tak jarang, kerusuhan etnik, agama dan konflik horizontal lainnya berhulu dari persoalan yang bermotif kecemburuan ekonomi ini.

Kenyataan ini terbilang ironis jika merujuk hakikat pendidikan yang dirumus Ki Hajar Dewantoro dengan perguruan Taman Siswa-nya sebagai proses pemerdekakan manusia, serta misi perguruan swasta lain seperti Muhammadiyah dan INS Kayu Tanam pada permulaan abad 20. Seiring keruntuhannya, sistem pendidikan nasional sebagai manifestasi kebijakan pembangunan Orde Baru yang cenderung modern dan sekuler menuai badai kritik. Navis sendiri dalam esainya (Kompas, 2000) mengkritik sistem pendidikan nasional ini telah mencerabut anak bangsa dari tradisi lapangan hidup pertanian, kenelayanan, pengarajin dan mental entrepreneurship yang merupakan basis sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Kenyataan lain, di lingkungan pesantren tradisional yang kental nuansa Islam dan pola hidup mandiri dengan berwira usaha telah mengalami pergeseran sejak masuknya sistem pendidikan Barat yang di bawa oleh pembaharu-pembaharu Islam. Clifford Geertz dalam bukunya yang menuai kritik The Religion of Java yang diterjemahkan sebagai Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa menjelaskan pergeseran tersebut bermula dari kebijakan sejumlah perguruan Islam seperti Muhammadiyah dengan sistem pendidikan yang lebih menekankan kepada persoalan organisatoris dan birokratis ketimbang hakikat filasafat pendidikan. Beban-beban akademis menjadi berhala-berhala baru yang musti disembah dan ditunaikan. Cita-cita tersebut mungkin relevan pada zamannya, namun telah menjadi bumerang pada masa kini. Kebutuhan akan lapangan pekerjaan telah menciptakan ketergantungan yang sangat besar kepada pemerintah, korporasi-korporasi kolonial dan industri imperialis lainnya.

Bentuk resistensi yang muncul sebagai akibat dari perubahan pola “tradisional” ke modern ini adalah larut dalam kegamangan, sebab sistem ekonomi berbasis Islam yang ditawarkan—dengan memberlakukan bank-bank syariah serta industri lainnya yang berbasis syariah—belum benar-benar mangkus membawa perubahan kepada perekonomian umat, sebagian lainnya malah terpesona dalam keterpurukan sebagai objek sistem ekonomi imperialis ini.

Menarik untuk mengaitkan kenyataan ini dengan persoalan yang disitir oleh Habiburrahman El Shirazy dalam novelnya Ketika Cinta Bertasbih, dengan menempatkan tokoh utama (Azzam) sebagai mahasiswa, sekaligus entrepreneur yang menggeluti produksi tempe dan bakso dengan bersandar pada nilai-nilai Islam.
Peran ganda ini terbilang ekstrim, setidaknya bagi kebanyakan masyarakat kita yang cenderung ‘konservatif’dalam menyikapi perubahan. Entrepreneur atau yang dalam bahasa kampung saya di hilir Danau Maninjau lazim disebut sebagai kaum panggaleh, bahkan bukan termasuk pilihan sadar sebagai jalan hidup bagi para mahasiswa dan sarjananya, apalagi bagi jebolan perguruan tinggi sekaliber Al Azhar di Cairo.

Seorang ibu yang mati-matian mengais rezeki di tepian sungai Batanghari guna membiayai kuliah anak-anak mereka sampai jauh ke perguruan tinggi, tentu tak pernah membayangkan mereka (anak-anaknya) hanya akan menjadi penjual tempe dan bakso. Pandangan dunia masyarakat feodal yang diwariskan kolonial, serta sisa-sisa pengaruh Hindu yang menempatkan golongan ini sebagai Waisa, menghendaki anak-anaknya menjadi ambtenar di instansi pemerintah ataupun swasta di perusahaan nasional dan asing. Namun, dengan apik Habiburrahman El Shirazy memadukan ini sebagai sebuah kesalehan sekaligus strategi pemberdayaan umat dari keterpesonaan sistem ekonomi modern.

Demikianlah agaknya, Ketika Cinta Bertasbih merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia yang mengangkat persoalan teologi ekonomi dengan spirit entrepreneurship dalam kisahnya. Sebab, dari banyaknya karya sastra genre prosa yang terlahir, mungkin hanya Ketika Cinta Bertasbih yang secara eksplisit mengangkat persoalan biasa yang tidak sederhana ini sebagai tema sentral diantara tema lainnya yang dominan, sebagaimana disebutkan dalam kata pengantar pada buku ini.

Spirit entrepreneurship dalam diri Azzam, mahasiswa Universitas Al Azhar, Cairo dalam Ketika Cinta Bertasbih yang berprofesi sebagai produsen tempe dan bakso dalam novel ini mula-mula disebutkan sebagai sesuatu yang kondisional. Azzam dipaksa banting stir dari sekedar menjadi mahasiswa, sekaligus menjadi pengusaha. Sebab di tengah gonjang-ganjingnya ekonomi keluarga sejak meninggalnya sang bapak, tidak memungkinkan baginya untuk terus sekedar berkuliah, melulu berkutat dengan kitab-kitab. Situasi yang memojokkannya ini, pada akhirnya menjadi pilihan sadar sang mahasiswa. Alih-alih menjadi elite intelektual atau bercita-cita menjadi pegawai di salah satu kantor pemerintah atau swasta, Azzam malah bercita-cita menjadi konglomerat, dengan kekayaan separuh pulau Jawa. Tak pelak, Azzam merupakan potret manusia modern yang intelek dengan spirit entrepreneaur yang bernafaskan Islam.

Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy) tidak sekedar melekatkan semangat itu dalam diri tokohnya secara eyel-eyelan. Misalnya, sekedar sampiran yang tak penting, sebagai pengisi alur di luar alur dominan. Tapi lebih dari sekedar alur sampiran, entrepreneurship berbasis Islam sebagai wujud konseptual “oposisi”
dari para pelaku pasar dalam sistem ekonomi global dewasa ini agaknya adalah ‘roh’ cerita dalam novel islami ini. Tak tanggung-tanggung, spirit yang melekat dalam diri Azzam ditonjolkan pada bagian mula sekali dalam novel dua buku ini (dwilogi), dan terus terekspos pada lembar-lembar berikutnya dalam dwilogi tersebut. Bukan sekedar narasi, secara cukup mendetil pula Habiburrahman El Shirazy mendeskripsikan cara pembuatan bakso dan tempe, laba rugi dan strategi bisnis yang dilakoni Azzam dalam kapasitasnya sebagai pedagang bakso yang mahasiswa—mungkin Azzam adalah satu-satunya mahasiswa Al Azhar asal Indonesia yang menjual bakso di Cairo.

Tak ada derogatif dalam memandang seorang pedagang bakso dalam masyarakat, malah profesi ini dipandang sebagai profesi yang luhur, meski di sana- sini terkadang Habiburrahman El Shirazy mengungkapan ‘cemooh’ sebagai refleksi pandangan dunia hampir sebagian besar masyarakat kita yang terwakili oleh para ibu di sekitar tempat tinggalnya. Namun, dengan optimis, dengan menempatkan karya sastra sebagai sarana dakwah dalam mentransformasi ajaran-ajaran Islam dalam memandang persoalan ekonomi dan kaitannya dengan nilai-nilai kemanusian, Azzam justru ditempatkan dalam posisi yang tinggi sebagai mereka yang berjihad di jalan Allah dalam kapasitasnya sebagai entrepreaneur.

Maka dengan sedikit lancang saya mengatakan bahwa novel ini sejatinya memang dimaksudkan sebagai “pemulian” kepada para saudagar, pengusaha dan kaum pedagang. Golongan yang dengan penuh percaya diri secara gigih bertarung mempertahankan hidup dengan segenap daya dalam gonjang-ganjing masyarakat benalu yang melulu menggantungkan diri kepada lembaga formal dalam pemerintahan. Sebuah satir yang tidak sinis di tengah gempita kecendrungan orang-orang untuk terjun dalam politik praktis demi menduduki kursi dalam pemerintahan. Kecenderungan yang sejauh pengamatan saya semakin menjadi-jadi pasca diberlakukannya otonomi daerah.

Dan yang lebih penting, wacana ini bukan sekedar isapan jempol atau imajinasi absurd belaka, Habiburrahman El Shirazy yang dikenal sebagai seorang penulis novel, juga dikenal sebagai pengusaha yang sejauh ini berhasil menggerakkan wirausaha. Nyatalah, gagasan entrepreneurship bukan sekedar utopi pelipur belaka, sebagai mimpi ganjil sang pengarang yang juga jebolan Universitas Al Azhar, Cairo, tapi lebih jauh, segenap gagasan dan ide tentang entrepreneurship dalam karangannya tersebut direalisasikan dalam hidupnya. Alhasil, jika separuh saja dari seluruh pengarang kita bermental entrepreneur seperti Habiburrahman El Shirazy, bisa jadi, gonjang-ganjing politik sastra terkait dana imperialis yang ditenggarai ingin menjajah kebudayaan kita akan segera pudar, sebab kesusastraan Indonesia akan mampu membiayai dirinya sendiri tanpa tergantung kepada siapapun, termasuk imperialis.

* * *
Nurul Fahmy,
Pemerhati Sastra, tingal di Jambi

Mei 5, 2008 Posted by | essai | Tinggalkan komentar

tulisan

Dekonstruksi Hamlet
Oleh Nurul Fahmy
Ophelia dalam Lentera adalah sebuah dekonstruksi atas Hamlet. Naskah karya/sutradara Jaffar dan Cut Rossa Bulianti yang dipentaskan di Taman Budaya Jambi pada 14 Maret, 2008 oleh UKM Pertunjukkan STSI Padangpanjang itu adalah sebuah alur yang keluar, dan yang membongkar kemapanan wacana patriarki dalam Hamlet karya dramawan yang juga penyair sohor dari Inggris, William Shakespeare (1564-1616). Ophelia adalah trace (jejak) jejaring teks Hamlet yang selama ini terlanjur dipahami sebagai “wacana laki-laki” sejak berabad silam, menjadi sebuah teks “baru” yang lebih “perempuan” dengan sentuhan “feminisme” (liberal) yang kental.
Sebagai dekonstruksi, tak ayal, Ophelia dalam Lentera sarat dengan kerja bongkar dan pembalikkan. Ia membongkar mitos Hamlet (laki-laki) yang berabad tahun terlanjur menempatkan Ophelia (perempuan) dalam keremangan senja di bawah telapak kaki kekuasaannya. Sebab itu, memahami Hamlet dalam pementasan malam itu adalah memahami wacana perlawanan. Wacana yang menolak diskriminasi atas perempuan dalam hal apapun, termasuk cinta. Alih-alih menuntut balas atas kematian Polonius—ayah Ophelia yang dibunuh Hamlet—Cut Rossa justru mencerabut Ophelia dan Hamlet dari alur konvensional itu, dan memperlihatkan bahwa ia (Pangeran dari Denmark itu) adalah sosok yang layak dikutuk, sebab “berdosa” kepada Ophelia.
Seperti saya, mungkin juga beberapa penonton akan bertanya, perlu benarkah mendekonstruksi sesuatu yang jauh, dan asing? Sesuatu yang jelas bukan budaya kita. Bukan budaya Timur yang dengan kesadaran penuh menempatkan perempuan sejajar dengan pria, dalam hal apapun. Tapi, benarkah demikian, benarkah pernyataan terakhir itu? Jelas hal ini harus dibuktikan, setidaknya butuh tesis panjang untuk memperkuat asumsi ini. Sebab, dalam realitas keseharian dan sekeliling kita, khususnya pada level bawah, perempuan masih saja—disadari atau tidak—menjadi korban ketidakadilan gender, oleh mental patriaki yang tebal berdaki.
Namun begitu, Ophelia dalam Lentera bukan cerita dengan hilir mudik yang jelas. Ia cerita yang tidak memiliki pusat sendiri. Ia tergantung sepenuhnya pada Hamlet karya Shakespeare. Sebab, sebagaimana interteks, Ophelia tak akan dapat dipahami sepenuhnya jika tak mengerti konteks persoalan sebelumnya. Satu persoalan “usang” yang melintasi zaman dan kemudian mentok di tangan Cut Rossa—penulis naskah dan sekaligus sutradara—sebagai wujud ketidakadilan gender. Dalam vakum itu, (mungkin) lahirlah Ophelia dalam Lentera sebagai bentuk “percikan permenungan”—meminjam kata-kata Goenawan Mohamad yang mengutip puisi Roestam Effendi—sekaligus gugatan: Kenapa Ophelia mesti tak berdaya? Kenapa Ophelia harus dirudung siksa? Kenapa pula ia tidak berusaha untuk berontak dari cinta? Dan deretan kenapa lainnya.
Jika dalam Hamlet karya Shakespeare, Ophelia berakhir dengan kematian, namun bagi Cut Rossa, Ophelia adalah sosok yang hidup dalam dirinya, yang coba ‘anarki’ terhadap keadaan yang telah diciptakan oleh pengarang romantis dari abad ke-15 di Inggris itu. Bagi ‘Ophelia’ kini, tak zamannya lagi ia merudung tangis dan mengandung duka yang berkepanjangan. Sebab, “ia juga adalah darah, dendam dan cinta”. Sesuatu yang kompleks, yang sejatinya manusiawi, yang pasti juga dirasakan oleh perempuan, seperti Ophelia.
Demikianlah Hamlet, sebagai wacana ia tidak lagi teks utuh yang final dan baku. Ia sebuah lanskap retak yang berserak. Sebuah persoalan yang memunculkan persoalan lainnya. Sebuah persoalan yang kemudian melintasi ruang dan waktu. Sebuah teks yang mubah—atau wajib dalam cara pandang feminisme—diutak-atik, ditelanjangi, dibongkar, dibangun kembali, menjadi sebuah hypogram; intertekstualitas. Di dalamnya ada persoalan yang harus diurai selubung mitos yang melingkupinya. Dengan begitu, hypogram ini menanggungkan beban yang tidak ringan. Paling tidak, beban akan menjadi lebih berat ketika dihadapkan pada audiens dengan pakem konvensional. Jelas, mengurai, memahami Ophelia dalam Lentera dengan “kacamata lama”, tidak akan mampu menangkap sepenuhnya apa sebenarnya yang diinginkan Ophelia. Kenapa Ophelia menjadi sedemikian liar dan keras kepala pada malam itu?
Tak heran, jika kemudian pementasan sore dan malam itu banyak dipahami sebagai fragmen-fragmen atau puzle-puzle yang berserak. Sebab memang demikian, Ophelia dalam Lentera adalah sebuah fragmen tak utuh yang selama ini tersembunyi dan disembunyikan dalam pakem Hamlet yang “jantan”. Ophelia, dalam pementasan malam itu tentu tak akan kita temui dalam naskah asli Hamlet karya Shakespeare. Sebagaimana kita tak akan menjumpai “ibu yang durhaka” dalam legenda usang Malinkundang, atau takhyul tentang Imam Bonjol yang ‘hero’ dalam Tuanku Imam Bonjol naskah lakon karya Wisran Hadi, kecuali dalam cara pandang lain, dengan membongkar pakem teks tersebut.
Dalam kecenderungan semangat perlawanan gender mutakhir, Ophelia tidak sendirian. Jika naskah lakon, ia dapat disejajarkan—semangatnya—dengan karya-karya Ayu Utami Sidang Susila, atau Perempuan Menuntut Malam-nya Rieke Diah Pitaloka. Jika prosa, ia sebanding dengan Saman, dan Larung, atau Mereka Panggil Saya Monyet-nya Djenar Maesa Ayu. Jika puisi, birahinya meletup-letup seperti Kuda Ranjang Binhad Nurohmad. Atau sederet karya lainnya yang dengan semena-mena dituding penyair gaek, Taufik Ismail sebagai karya sindikat “Gerakan Syahwat Merdeka”, “Fiksi Alat Kelamin” atau lainnya, namun dengan gegap-gempita pula dibantah dan diserang oleh Hudan Hidayat, Marianna Aminudin, Beni Setia, Muhidin M Dahlan, serta lainnya, beberapa waktu lalu.
Jadi tak heran pula jika kemudian seorang bapak—yang juga sudah tua, dan sepertinya mempunyai kedudukan cukup penting dalam pemerintahan—merasa sedikit kebingungan dengan pertunjukkan malam itu. Ia merasa tak menemukan sebuah cerita yang utuh. Pementasan malam itu dianggap hanya bentuk pencarian/eksperimen sekelompok mahasiswa belaka. Ia nyaris tak menemukan apa-apa di sana, selain liukan erotis para aktor (Hamlet dan Ophelia) yang dikatakannya menerobos tabu dalam standar budaya dan agama (Islam). Namun, tentu saja statement ini akan terjerumus dalam sikap fundamental/konservatif ketika digunakan dalam menilai karya seni. Hal ini mestinya diurai dan dibahas lebih panjang lagi. Sebab, banyak ekses dikemudian harinya yang akan dijumpai, terkait kecenderungan Propinsi Jambi untuk menjadi tuan rumah dalam event-event seni-budaya bertaraf regional, nasional maupun internasional.
Tapi pun, ini sepenuhnya bukan kesalahan bapak itu, atau juga penonton kebanyakan. Persoalan yang diusung dalam lakon itu tidak relevan dalam semua situasi. Feminisme (liberal) jelas memiliki kadar relativitas tinggi. Dan, salah satu kelemahan naskah Ophelia dalam Lentera—jika itu memang dapat disebut sebuah naskah, mungkin terletak di sini. Ia tak menyertai, ia menganggap audiens telah membaca, paling tidak mengetahui siapa itu Hamlet, dan bagaimana pula sepak terjangannya. Ia merasa, dengan sedikit catatan (sinopsis) pada leaflet pementasan, penonton akan dapat memahami dan memaklumi beban yang ditanggung Ophelia, serta gegap-gempita perlawanan yang terjadi di luar sana.
Begitupun dalam visualisasinya, hypogram ini menjadi tidak konsisten dan semakin jauh dari relevansinya, sebab jika setting dibangun dengan nuansa “asli” di negeri antah-barantah, dialog terasa ganjil ketika kita menangkap lesatan nama-nama semisal, Aristoteles, Machiavelli, Napoleon, dan bahkan Louis 14, Drupadi dan Pandawa. Sebab, masing-masing tokoh yang disebutkan lahir dalam zaman yang berbeda, dan alam yang berbeda. Kecuali mungkin, naskah ini berdiri sendiri. Terlepas dari konteks dan visualisasi Hamlet.
Atau mungkin memang demikian maksud pementasan malam itu. Hamlet dan Ophelia adalah representasi hamlet-hamlet dan ophelia-ophelia (laki-laki dan perempuan) yang diwujudkan sebagai manusia-manusia. “Adalah pikiran-pikiran dari Hamlet yang tiada berbatas dan beruang”, sehingga dianggap relevan dalam situasi dan konteks apapun. Sebagai tubuh-tubuh yang diwakili oleh beberapa aktor dengan letupan-letupan emosi non-temporalitas. Panggung kemudian menjadi pertarungan dan altar pengakuan dosa Hamlet kepada Ophelia. Ketelanjangan, tubuh, rantai, serta liukan erotis merupakan simbol yang kontras, yang musti dipahami, tidak dengan kacamata kuda. 

* * *

Nurul Fahmy,

April 8, 2008 Posted by | essai | Tinggalkan komentar

tak ada malam ketujuh, empat puluh,
apalagi seratus…

Cerpen: Nurul Fahmy

Di musim penghujan September lalu Dul Kesot meninggal dunia. Berita itu tersiar dari pesan singkat yang dikirim dari nomer ke nomer melalui telepon seluler. Seperti berlesatan, berloncatan, pesan-pesan itu sampai dalam waktu yang nyaris bersamaan dengan bunyi yang bermacam ke puluhan orang yang berada di penjuru kampung. Segera mereka mengetahui berita duka itu. Kemudian, sebagian dari orang-orang itu menyiarkannya pula ke puluhan nomer lain. Sangat cepat, sungguh singkat. Melampaui siar berita duka cara lama; bunyi kentongan, beduk dan suara azan yang berkumandang dari moncong pengeras suara di langgar.
Sesaat sepeninggal Dul Kesot, para pelayat berdatangan. Sungguh banyak. Maklum, selain kaya raya, Dul Kesot kesohor sebagai dermawan yang disegani. Setiap menjelang Lebaran, Dul Kesot rutin memberikan sumbangan kepada masyarakat; ratusan kantong plastik berisi tepung, gula, mentega, minyak goreng, kain sarung, dan kopiah disebar, dibagi-bagikan kepada setiap orang yang datang. Selain itu, Dul Kesot juga dekat dengan para pejabat. Jika saja tidak keburu meninggal dunia, Dul Kesot diyakini bakal menduduki kursi bupati pada pilkada tahun ini.
Meski ramai suasana tetap hikmat. Orang banyak tak ada yang bersuara keras. Sebagian orang bercerita pelan-pelan, menyebut-nyebut kedermawanan Dul Kesot. Sebagian lagi berbisik menanyakan penyebab kematiannya. Dari desas desus didapatkan berita; pagi itu tiba-tiba saja Dul Kesot mengeluh sesak napas, suhu badannya tinggi, tak lama ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Kata desas desus itu pula, Dul Kesot kena serangan jantungnya oleh penyakit. Dari dalam rumah duka, sayup-sayup terdengar isak tangis di sela-sela tahlil dan doa.
Sementara pelayat terus berdatangan, para penggali kubur semakin giat mengayunkan cangkul dan linggis, menggali liang bagi jenazah Dul Kesot.
“Lokak makan besak kito, Jok. Nasi lemak.”
“Iyola, dak meleset lagi, Wak!”
“Kapan rencananyo Wak Dul ko nak dikuburi?”
“Dak tau jugo sayo, tapi mungkin siang ko la, habis Zuhur.”
“Apo dak nak nunggu Kulup lagi?”
“Ai, dak tau nian sayo, Wak. Sayo ko dak ngerti nian!”
Para penggali itu kemudian terus menggali lubang, berkubang tanah, bercampur peluh, serta bau ketiak yang menyengat. Sesekali diselingi senda gurau.
Kulup yang disebut-sebut barusan adalah anak Dul Kesot, pewaris harta kekayaan petani berdasi itu. “Budak lolo, baru besak, dak tau di hal,” setidaknya begitulah pikir orang-orang mengenai Kulup. Semua tahu, Kulup sudah lama sekali tidak pulang. Di saat remaja sebayanya asyik masyuk berhura-hura dengan segala fasilitas yang diberikan orang tua, Kulup malah terbang jauh, bahkan teramat jauh meninggalkan semuanya dalam waktu yang lama. Padahal pemilik kebun sawit ribuan hektar itu ingin agar Kulup tidak jauh-jauh darinya, supaya dapat segera meneruskan usaha yang telah dirintisnya. Tapi apa daya Dul Kesot, Kulup mangkir.
Bisnis Dul Kesot yang bermula dari penebangan dan penggergajian kayu gelondongan secara manual itu, perlahan-lahan tumbuh menjadi pabrik pengolahan kayu dengan peralatan canggih yang mempekerjakan ratusan anak buah. Selain memiliki bisnis penebangan dan pengolahan kayu, Dul Kesot juga merambah usaha pengerukan pasir dan batu kerikil di sepanjang sungai, serta jual beli hasil bumi untuk di ekspor ke beberapa negara tetangga.
Meski kemudian ribut-ribut soal ilegal logging, dan segenap perusahaan pengolah kayu tebangan liar di kota ini ditutup, bisnis Dul Kesot tetap berjalan dengan lancar, bahkan semakin menggurita. Dul Kesot pebisnis jempolan. Naluri bisnisnya luar biasa. Ia yakin, bisnis pembabatan hutan dan pengolahan kayunya tak akan bertahan lama. Maka, jauh sebelum orang-orang ribut soal hutan yang semakin gundul, longsor, banjir, pemanasan global, dan dampak lainnya, Dul Kesot telah membuat manuver cantik. Justru setelah puluhan ribu hektar hutan menjadi rawa, setelah sungai-sungai semakin melebar, setelah beberapa buah desa tenggelam dilamun longsor dan banjir, Dul Kesot telah lebih dulu mencuci tangan dengan menginvestasikan seluruh kekayaannya ke bidang usaha lain. Alhasil, selain perkebunan sawit yang terhampar luas sejauh mata memandang, beberapa POM bensin, dan gudang-gudang penumpukkan stok bahan pangan, ditenggarai jaringan bisnis Dul Kesot juga meliputi beberapa swalayan dan sekolah-sekolah di kota ini.
Demikianlah Kulup. Ia tak hendak meneruskan jaringan bisnis ayahnya itu. Ia ingin sekolah. Dul Kesot pasrah. Ia hanya dapat berharap, setelah dewasa dan tamat dari sekolah, Kulup pulang kampung dan menerapkan ilmunya dalam bisnis keluarga mereka itu. Namun Dul Kesot kecele. Bukan ekonomi atau manajemen bisnis yang dipelajari Kulup seperti harapnya, melainkan persoalan hukum, filsafat dan agama yang ditekuninya. Dan nyaris, setiap hari ia berkubang dengan buku-buku.
“Dak apola, sayo dulu jugo dak tamat sekolah dak,” ujar Dul Kesot. “Dalam bisnis tu,” lanjutnya, “yang penting naluri, sikok lagi iko dan iko,” katanya sambil menunjuk kepala dan menggesek-gesekkan jempol ke jari telunjuk tangannya. “Apo be yang dipelajarinyo, dak penting, asak dio mau ngurus bisnis ko, kageknya. Kerno, harto sayo ko tuk dio jugo la” Demikian Dul Kesot menghibur diri.
“Mudah-mudahan la, Wak.” Orang-orang mengamini.
Rinai panas mengiringi kerumunan orang yang berjejalan mengusung keranda Dul Kesot ke pekuburan. Bunyi tanah bergedebug, bergeseran menimpa papan penutup liang Dul Kesot. Genang air mata pecah, diiringi sedu sedan dan tabur bunga. Entah berapa lama, entah berapa saat, prosesi pemakaman akhirnya usai. Dengan berlinang air mata, Kulup—yang datang tepat pada saat keranda bergerak ke pekuburan—memohonkan kepada para hadirin, agar semua kesalahan dan khilaf almarhum ayahnya dimaafkan. Dan segenap hutang piutang yang bersangkutan dengan almarhum, mohon diurus kepada ahli waris. “Agar tak menjadi siksa bagi almarhum nantinya,” terang Kulup. Tak lupa ia meminta kepada para hadirin pelayat sekalian untuk memanjatkan tahlil dan doa-doa di rumah duka selama tiga malam berturut-turut.
“Hhhh, budak degil tu, akhirnyo sadar jugo.” Gumam orang-orang.
* * *
Hujan bulan September benar-benar menunjukkan perangainya. Meski begitu, genangan air di selokan, di jalan tanah berbatu dan berlumpur tak menyurutkan orang-orang untuk datang ke rumah almarhum Dul Kesot. Selesai shalat Maghrib, rumah itu penuh oleh tetamu. Bahkan beberapa pengunjung rela bersila di teras yang dialasi tikar, sebagian lagi berdiri di halaman.
Sudah sejak pagi tadi rumah almarhum Dul Kesot ramai oleh para ibu-ibu. Terlihat kesibukan luar biasa di dapur. Asap mengepul. Ada yang mengiris bawang, mengupas kentang, menggiling cabe, dan menanak nasi, hingga menjerang air. Belasan ekor ayam dibantai. Dua ekor kambing disembelih. Puluhan kilo ikan Patin disiang untuk tahlil malam ketiga itu.
Menjelang Ashar tadi, kursi-kursi dan meja-meja telah diangkut ke luar rumah dan diletakkan di gudang. Karpet dan permadani digelar sepenuh ruangan. Tenda-tenda dipasang di halaman. Jika ditambah umbul-umbul dan janur kelapa, sungguh, suasana tak ubahnya seperti ada kemantenan. Tidak seperti malam pertama dan kedua, malam ketiga ini para pendoa biasanya ramai berdatangan untuk memberikan doa-doa kepada almarhum. Pagi tadi Bidin telah menyebar undangan ke kampung-kampung. Maklum, seperti kebiasaan di sini, malam ketiga adalah puncak dari tahlilan. Dan biasanya, pada malam ketiga ini para pendoa disuguhi macam-macam hidangan. Nasi beserta lauk-pauknya ditambah oleh hidangan lain.
Cuaca agak sedikit mendung, sesekali terdengar guntur sahut menyahut, sepertinya hujan akan turun, sama seperti malam-malam sebelumnya.
“Heng kali heng, hong kali hong. Phuuaah,” canda Cecep, sambil menghembuskan napasnya kuat-kuat ke udara, meniru gaya pawang hujan. “Tenang be, tengah malam gek ujan baru datang,” sambungnya. Sementara yang lain cuma senyum-senyum, mengamati tingkah laki-laki setengah waras itu. Para pendoa semakin banyak berdatangan. Mereka terlihat gembira, sepertinya tahlil malam ini adalah acara kumpul-kumpul, saling lepas kangen. Sebagai lama tidak jumpa dengan para kerabat, mereka saling jabat tangan, bersalaman dan berangkulan.
Tahlil dimulai. Hawa dingin tidak mengurangi kekhusukan para pendoa untuk bertahlil. Terkadang goyangan tubuh dan kepala mereka terlihat begitu cepat, seirama lafal tahlil. Semakin keras. Semakin cepat. Para pendoa berlomba-lomba mendoakan agar semua amal dan pahala Dul Kesot diterima Tuhan di alam sana. Di teras dan halaman rumah, anak-anak, hingga pemuda tumplek blek dalam alunan tahlil. Tapi dasar anak-anak, ada-ada saja tingkah mereka. Sambil berdoa, terkadang mereka bercanda dengan sesamanya, saling cuil dan saling senyum. Namun, suara-suara canda mereka terhimpit oleh doa-doa orang banyak.
Jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, doa-doa telah selesai dibacakan. Orang-orang menunggu dengan tenang. Sesekali terlihat juga mereka bersenda gurau, memantik koset, dan membakar rokok. Sebagai pembuka, diangsurlah gelas-gelas berisi air minum kepada para pendoa. Dengan semangat mereka mengeser-geser gelas itu kepada orang di sebelahnya. Apalagi anak-anak. Mereka terlihat bersemangat sekali mengoper-oper gelas itu kepada sesama temannya. Setelah itu keluarlah piring-piring kecil berisi kue-kue dan roti-roti kering.
Setelah semua kebagian, Kulup berdiri untuk mempersilahkan tamu-tamunya mencicipi hidangan. Tak lupa Kulup mengucapkan terima kasih kepada para pendoa. “Saya sangat berterima kasih sekali kepada kerabat, tetangga, bapak-bapak, teman, adik-adik dan anak-anak sekalian yang telah mendoakan arwah orang tua saya dengan tulus, iklash dan sangat antusias. Mudah-mudahan kiranya doa kita semua diterima dan didengar oleh Tuhan. Sebagai penutup kata, silahkan para tamu semua mencicipi hidangan yang telah tersedia. Sebelumnya saya mohon maaf, sengaja semua hidangan kami kirimkan ke panti-panti asuhan dan rumah-rumah jompo, karena saya yakin, mereka lebih membutuhkan daripada kita yang ada di sini. Sementara kita di sini cukuplah dengan roti dan segelas air saja, bagaimana bapak-bapak, setuju?” Kulup bertanya.
Terdengar suara-suara, gaduh, gerutu dan hembusan napas panjang. Belum lagi habis beberapa kerat roti dan segelas air minum, dari halaman terdengar orang mengucapkan salam dengan cukup keras, pertanda pamit pulang. “Assalammualaikum!” Satu persatu para pendoa itu meninggalkan rumah Dul Kesot. Dari sungut-sungut mereka aku mendengar gerutu, “pasti dak ado malam ketujuh, empat puluh, apolagi seratus!”

* * *

Oktober 2005 – Februari 2008

Februari 22, 2008 Posted by | essai | Tinggalkan komentar

cerita pendek

Kalau Dia Keluar,
Saya Menyalakan Cerutu

Cerpen Nurul Fahmy
Tak begitu lama bagi mereka untuk menanti sebatang cerutu dinyalakan, hanya sesaat saja dibandingkan dengan 16 bulan pengejaran panjang. Dan. Ting! Dess! Dess! Dua butir peluru melesat di keremangan lampu. Sebutir mengenai bahu kiri, sebutir lagi menghantam jambangan di lobi. Ia merintih kesakitan. Sekonyong-konyong ia mencabut revolver dari balik bajunya. Namun, dess! Lagi, sebutir peluru melesat di antara jerit orang-orang yang kalang-kabutan. Mengenai punggung dan menembus jantung.
“Kami akan menonton di Metropole, tapi belum jelas benar. Kalian bersiaga saja. Kami bertiga, dua wanita dan satu laki-laki. Aku mengenakan gaun merah,” bisikku di telpon kepada komandan polisi di seberang sana. Namun ia telah terbiasa menyebarkan bayangan sebanyak mungkin di penjuru kota ketika sedang berjalan dan menghapusnya sebelum menghilang bagai kelebatan kucing hitam dalam kegelapan.
“Siapa yang percaya tembok, lemari, tong sampah, lorong gelap dan pesawat televisi, apalagi kesiur angin yang berhembus dingin di Metropolis ini,” katanya.
Dalam perjalanan ke Metropole itulah ia membanting stir mobil, menikung ke arah kiri. Ban berderit, mencicit karenanya. Dan lantas berkata, “Bagaimana kalau kita ke Biograph, filmnya bagus. Kisah seorang anggota gangster yang dihukum mati di kursi listrik.”
Ini konyol. Seharusnya aku tak perlu ikut serta dalam mobil itu. Aku cukup menguntit mereka dengan taksi dan menelpon polisi ketika aku benar-benar yakin bahwa mereka telah sampai pada suatu tujuan. Dengan cara itu aku akan lebih aman. Sekarang mampuslah aku terperangkap dalam lubang yang kubuat sendiri.
Mobil terus melaju membelah malam di kawasan paling hingar di Metropolis ini dan berbelok ke Biograph. Aku semakin kecut. Tubuhku menciut. Jangan-jangan tindakanku menghubungi polisi pagi tadi telah tercium olehnya. Oh, God. Laki-laki ini tak akan memberiku ampun. Sebutir peluru dari revolver di balik bajunya itu sudah cukup untuk mengantarkan nyawaku yang ringkih ini ke akhirat. Dan itu bukanlah perkara sulit baginya.
Tahukah, saat itu aku diperhadapkan pada buah simalakama yang kupetik sendiri. Mau apa lagi. Maju kena, mundur pun aku tak bisa. Sungguh, tanganku berkeringat. Peluh dingin terbit dari seluruh lubang pori-pori di keningku. Bagaimana cara memberi tahu polisi bahwa kami tidak jadi ke Metropole, melainkan ke Biograph. Minta berhenti dan menelepon polisi, sama dengan menyorongkan tubuhku ke tengah jalan pada saat lalu lintas sedang ramai. Tubuhku kian gemetar. Dari balik kaca, aku memandang kota yang bermandikan cahaya lampu yang bagai kilatan mata api. Sesekali aku meliriknya yang lagi menyetir, dan Bettie.
***
Mulanya aku menganggap itu adalah lelucon pria untuk mengambil hati teman kekasihnya, dengan mengaku-ngaku sebagai penjahat paling ulung. Bukan mustahil, carut perekonomian yang kian semrawut kadang membuat masyarakat bertingkah aneh. Lebih dari 13 juta imigran bergentayangan di sesudut kota, hingga meluber ke jalan-jalan. Kilau belati yang mematikan tiba-tiba akan disorongkan ke lehermu. Dan sejulur tangan akan menarik paksa barang-barang berharga yang kau bawa ketika melintasi lorong-lorong manapun di kawasan ini. Namun begitu, ada saja lelucon konyol tentang penjahat; sebagian anak muda mengidolakan perampok bertopeng, sebagian lagi meniru-niru kostum yang digunakan oleh mereka. Dari selebaran di dinding kota dan surat kabar, aku mengetahui: Siapa bisa menangkapnya, polisi telah menyediakan uang 100.juta, dan separuhnya bagi yang menunjukkan keberadaannya. Tak mampu menangkapnya, 50 juta cukuplah bagiku uang sebesar itu.
Sore sebelum kami berangkat ke Biograph—atau Metropole, seperti rencana awal—Bettie memamerkan gaun hitam pemberian kekasihnya itu, “Cantikkah aku dengan dengan gaun ini, Ann? Aku ingin selalu terlihat cantik di matanya. Kau tahu, aku mencintainya. Kami akan mempunyai anak dan segera menikah, dan kami akan tinggal di Jakarta. Kau harus menghadiri pernikahan kami, Ann.” Kata Bettie berbunga-bunga. Perutnya terlihat buncit. Ia hamil.
Astaga!!
**
Garong paling ulung, paling berbahaya dan paling dicari oleh polisi itu lahir dari hubungan ganjil pria kulit putih yang dikutuk keluarga dengan perempuan lacur berkulit coklat. Setelah gagal menggugat warisan dan dinyatakan kalah oleh pengadilan, pria itu menyendiri di pinggiran kota. Tak lama pemabuk itu ditemukan mengapung di bak mandi setelah menenggak segelas Vodka yang dicampur serbuk Arsenik.
Anak yang lahir dari hubungan ganjil itu tumbuh jadi mahluk serampangan, dan suka membenamkan diri dalam perpustakaan, membaca berbab-bab kitab, dan buku-buku hukum dan sejarah. Pada usia 14 tahun untuk pertama kalinya ia berurusan dengan polisi, dan diajukan ke pengadilan karena mencuri berpeti-peti Whisky dari sebuah gudang di perkebunan. Dan pergi ke sekolah dalam keadaan teler.
Setahun kemudian—setelah dibebaskan ia masuk perkumpulan gereja, dan menyatakan ingin menjadi pendeta—ia mencuri lagi. Dan diam-diam menghukum anak seorang jaksa yang menghinanya sebagai pria dungu tak punya nama keluarga. Tak ayal bocah nyinyir itu dibetotnya ke sebuah mesin penggergaji kayu yang sedang menyalak garang. Anak itu meraung ketakutan. Sambil menyemburkan serapah dari mulutnya, ia tertawa terkekeh-kekeh. Dan baru menekan tombol off, ketika beberapa sentimeter lagi mata-mata gergaji siap melumat-lumat tubuh anak malang itu. Ia baru melepaskannya setelah anak itu berjanji akan mencium pantatnya. Pada usia 15 tahun ia membuat seorang perempuan berang, karena mengangkangi seorang gadis berambut pirang.
Atas perbuatannya, setan kecil yang suka mengayunkan pentungan kasti itu di hukum 15 tahun kurungan. Dalam bui, ia bersekutu dengan beberapa gembong perampok kawakan, dan mendapat semacam pendidikan gratis tentang seluk-beluk dunia gangster, merancang program, dan merencanakan pelarian bersama-sama. Namun tak perlu baginya bersusah payah untuk kabur. Atas permintaan beberapa warga terhormat ia dibebaskan dengan syarat.
“Ia hanya terpengaruh, sebenarnya ia adalah anak yang baik,” ucap beberapa warga lugu.
Untuk merayakan pembebasannya, pada hari Minggu gereja memberi tema kebaktian “Kembalinya Si Anak Hilang”. Dalam pada itu, ia merubah wujudnya sebagai malaikat, dan mengatakan kepada para jemaat bahwa ia sangat menyesal. Dengan berlinang air mata para jemaat yang tertipu saling berpelukan dengannya. Setelah itu ia bergegas pergi. Entah kemana.
Tak perlu lama baginya untuk memberikan kejutan. Dua minggu setelah dibebaskan, polisi dibuat kelabakan oleh serangkaian ulah yang dilakukannya. Bersama kawanannya, ia merangsek sebuah pabrik roti di pinggiran kota. Mulanya mereka berpura-pura mencari kerja. Namun pemilik pabrik curiga, karena hari itu adalah hari pembayaran gaji. Dan tentu saja karena dalam laci mejanya terdapat sejumlah uang. Pemilik pabrik meraih senapan di laci. Namun ia mendahului. Pistol meletup dan melukai pemilik pabrik.
Pekan itu petualangannya baru saja dimulai. Pagi mereka mengupak sebuah toko obat, siangnya giliran sebuah bank nasional disantroni, dan sore hari ia mengagetkan orang-orang yang sedang belanja di sebuah swalayan. “Hallo, manis, ini adalah perampokan,” sapanya kocak kepada kasir.
Tak kurang dari 16 bulan ia dan kawanannya telah membuat repot polisi di seluruh negara bagian. Bagai buldozer, ia menggiling apa dan menggilas siapa saja. Malam-malam di Metropolis dan sekitarnya berubah menjadi kawasan hantu. Jika sore meruap, orang bergegas menutup jendela dan memasaknya dengan palang pintu. Brankas bank dan swalayan digerendel dan mereka telah menambah jumlah gembok, menutup tirai dan mengunci pintu. Orang-orang pulang dengan langkah yang besar-besar. Mereka tak ingin jika tiba-tiba saja harus berjumpa dengannya atau kawanannya.
Mesin kemudian mencetak wajahnya, dan disebar ke seluruh negara bagian. Surat kabar-surat kabar menuliskannya dengan huruf kapital dan memberi julukan aneh kepadanya: “Si Kulit Terbakar”. Spion dan mata-mata di tempatkan di setiap sudut kota. Jalan kecil, lorong gelap, bar, diskotik, perumahan kumuh, apartemen mewah tak luput dari pengintaian mereka. Namun ia dan kawanannya bagai hantu. Muncul secara tiba-tiba, dan menghilang tiba-tiba pula. Sebagian polisi mengatakan, ia bagai belut.
Polisi nyaris patah hati, ketika pada suatu hari telpon di kantor berdering. Seorang perempuan peragu melaporkan bahwa mereka akan menuju Metropole. Namun seorang agen terpercaya mengatakan, ia baru saja melihat kelebat bayangannya dalam sebuah mobil yang melesat bagai setan di Biograph. Polisi bertindak cepat, satuan khusus dikerahkan untuk menjaring dan memukulnya. Mereka mengepung kawasan Biograph. Sebagian menyamar sebagai pengunjung, sebagian lagi berlagak sebagai pemabuk yang bingung. Pada saat itulah sebuah sandi dibuat sebagai isyarat untuk melumpuhkannya, “Kalau dia keluar, saya menyalakan cerutu.”
**
Malam baru saja menapaki bangunan dan gedung-gedung bertingkat yang kumuh di Metropolis, ketika gerimis mulai menampar jendela, ketika seorang laki-laki berlari masuk ke dalam Royal Bar ini. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, berkulit coklat terbakar dan berambut legam. Matanya tajam dan liar. Ada seulas kumis di bawah hidungnya. Namun ada awan kelabu menggayut di wajah itu.
Sebagai pelayan bar yang baik aku menawarkannya minuman. Barangkali saja bisa merontokkan awan kelabu itu. Sekaligus penawar dingin setelah berlarian dalam gerimis. Ia kemudian minum bagai onta di padang pasir. Semalaman ia mabuk dan menceracau kian kemari. Aku membimbingnya ke mobil pada saat bar sudah tutup. Esoknya ia datang lagi. Kami pun akrab dan terlibat asmara.
Berminggu-minggu setelah itu, sambil meneguk bergelas-gelas Whisky ia mengatakan akan mengajakku tinggal di Jakarta. Daerah mana pula itu? Aku pun tak tahu. Tapi entahlah, aku menurut saja apa katanya. Aku telah membayangkan, kami akan tinggal di sebuah rumah. Aku melahirkan seorang bayi yang lucu. Dan setelah itu kami akan menikah di Jakarta. Oh, Jakarta. Tunggulah kami, seruku.
Begitulah, malam itu kami nonton film di Metropole. Ia mengajak serta temanku bersama kami. Selama perjalanan kami membisu. Dari balik kaca, aku memandang kota yang bermandikan cahaya lampu yang berwarna-warni. Tiba-tiba ia membanting stir mobil, dan menikung ke kiri. Ban mobil berderit, mencicit karenanya. Ia mengatakan akan ke Biograph.
Lobi Biograph yang remang telah dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menonton. Tapi sedari turun dari mobil aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Aku merasa kami sedang diamat-amati oleh beberapa pasang mata. Aku melirik padanya, tapi ia terlihat tenang. Aku pun mencoba bersikap tenang. Meski sedikit ada khawatir dalam hatiku.
Kami keluar pada saat film telah benar-benar usai. Ia berjalan di depan duluan. Sampai di lobi itulah aku melihat seseorang yang berdiri di balik tiang menyalakan cerutu dengan Zippo. Terdengar dua letupan senjata. Ia merintih. Tak lama terdengar lagi sebuah letupan. Dan tubuhnya terkapar bersimbah darah. Aku menjerit. Meraung. Mendekap tubuhnya yang tak berdaya.
**
Di Biograph ia seperti tidak mencium gelagat busuk. Sampai pada saat dua peluru meletup dan sebutir bersarang di bahu kirinya, ia tetap tak menunjukkan kecurigaan apapun pada Anna. Namun, ketika ia telah terkapar dan polisi telah mengucapkan terima kasih kepada Anna, sebuah pukulan keras tiba di wajahnya. Sesaat pandangannya menjadi kabur, tapi ia masih dapat melihat Bettie yang sesengukan berdiri di depannya. Siap menyemburkan sejuta magma.
**

Thehok, November 2007

Judul diambil dari Jean-Marrie Pelaprat. Intisari, Juni 1980.

Februari 9, 2008 Posted by | essai | Tinggalkan komentar

Pergulatan

Sejarah dan Dampak Politik
Oleh: Nurul Fahmy

Dalam kitab usang Plato, Republik, ada pesan Socrates tentang dongeng yang harus diceritakan kepada anak-anak. Menurutnya, para pejabat negara harus mengawasi penulisan fabel dan legenda dan menolak semua yang tidak memuaskan. “Demi pembangunan watak anak-anak,” lanjut filsuf tua itu lagi, “kita harus memerintahkan kepada segenap ibu dan inang pengasuh agar menceritakan dongeng-dongeng yang telah kita—pejabat negara, kaum cendekiawan, dan lain-lain—setujui saja.”
Lantas, amsal tentang legenda ini dipahat di atas batu dan dijadikan prasasti, diukir menjadi relief dan dituliskan dalam buku-buku sejarah. Bahkan nyaris selama beberapa abad Nusantara dalam kejayaan Majapahit, plus 32 tahun dalam konteks keindonesiaan dalam rezim Orde Baru, sejarah menjadi sesuatu yang pasti, mutlak, kaku dan beku. Berdosa jika dikoreksi. Jikapun ada yang harus dikoreksi, haruslah lewat sensor ketat penguasa. Dan, selagi tidak mengganggu kepentingan politik penguasa, koreksi ini sah-sah saja. Dengan demikian—untuk menghindari sensor itu—adalah wajar sekiranya Mpu Prapanca dalam Negarakertagama, membutuhkan banyak metafora dalam menggambarkan sisi kelam kehidupan rakyat di Majapahit.
Begitulah, koreksi atas kesalahan pembuatan jumlah dana yang ‘disetorkan’ kepada pemerintah pusat oleh para pejuang rakyat di Jambi muncul dari Usman Meng—pelaku sejarah Jambi—dan segera direspon oleh Wakil DPRD Jambi. Jumlah dana dalam relief yang baru saja selesai dibuat dan diresmikan pada 6 Januari lalu oleh Gubernur Jambi, sempena perayaan hari jadi Provinsi Jambi itu, seharusnya menurut Usman Meng adalah 380 dolar Singapura, bukannya 350 seperti yang terpahat. Dalam pada itu pula, Usman Meng ‘mencak-mencak’ seraya mengkoreksi tulisan kantor gubernur pada relief itu, yang menurutnya lagi harus ditulis dengan kata “Goebernoer” dalam ejaan lama.

Bukannya menyelidiki—atau menginsyafi diri—tentang kebenaran jumlah uang tersebut, Wakil DPRD Provinsi Jambi dengan serta merta—ketika ditanya sejumlah wartawan—menudingkan tunjuk (mencari kambing hitam) kepada seniman pembuat relief, seraya mengatakan, “ini adalah kesalahan mereka.” Seniman yang gemetar karena minimnya tinjauan historis atas relief yang mereka pahat, bergegas mengayunkan palu, menghancurkan karya yang telah mereka buat sendiri, demi mengubah data tersebut.
Informasi apa yang kita dapatkan dari kejadian ini. Sekilas kita dapat mengetahui minimnya pengetahuan sejarah para pejabat dalam pemerintahan kita: termasuk Wakil DPRD sendiri, termasuk pimpinan proyek, atau kepala dinas atau siapapun yang menjadi pengawas proyek pembuatan relief yang menelan biaya 500 juta itu. Sehingga lalai, dan dengan begitu mudah ‘diintimidasi’—meski ‘intimidasi’ ditujukan untuk mengkoreksi kesalahan—oleh pelaku sejarah. Dan anehnya, dengan mudahnya mereka lempar batu sembunyi tangan, mengunjukkan kesalahan kepada seniman pembuat relief.
Adalah wajar, sebagai pelaku sejarah, Usman Meng sangat peduli tentang hal ini. Karena setidaknya beliaulah yang mengetahui kejadian sebenarnya. Selain bernostalgia, Usman jelas bermaksud meluruskan sejarah. Tapi, lepaskah Usman Meng dari faktor distorsi, subjektifitas, karena usia yang lama atau ancaman keuzuran? Bagaimana kalau saat itu beliau sudah wafat, atau tidak hadir di tempat? Bagaimana kalau seandainya pada saat itu beliau sedang ngawur, misalnya, karena pikun, atau sedang terkena sindrom paranoina kolonialisme atau sindrom lainnya, sehingga data yang disampaikan menjadi fiktif sesuai apa yang ada di kepalanya saja? Sudah tentu kesalahan penulisan data sejarah ini akan terus terpatri di sana.

Inilah yang harus dibuktikan secara objektif. Membuka kembali berkas-berkas kuno tentang sejarah perjuangan rakyat Jambi pada saat itu: Sejarah lokal yang tak pernah diajarkan di sekolah-sekolah di provinsi ini. Materi sejarah yang terlanjur didominasi oleh cerita tentang kepahlawanan para pejuang pusat dan sentral-sentral pergerakan.

Anak sekolah mana di ranah bertuah ini yang mengetahui siapa itu Kolonel Abunjani, atau Sultan Thaha Syarifudin? Sudah tentu, selain nama jalan di kawasan Sipin dan nama bandar udara, sedikit sekali informasi yang mereka dapatkan tentang itu.
Lagi, kita tanyakan kepada anak sekolah di daerah ini, siapa di antara mereka yang mengetahui sepak terjang Orang Kayo Hitam yang terlanjur diselimuti mitos keris Siginjai? Tak satupun mungkin dari mereka yang mengetahui bagaimana kisah sang legenda itu, selain cerita-cerita mistik tentangnya. Bahkan orang tuapun tidak. Termasuk juga kuncen penjaga makam. Makam yang sebentar lagi hilang digerus abrasi sungai Batanghari yang dilalu-lalangi tongkang-tongkang yang mencangklong kekayaan alam Jambi. Kisah sang legenda yang tenggelam ditelan cerita kehebatan Naruto dan keseksian Paris Hilton. Makam yang senantiasa disinggahi oleh peziarah (termasuk para pejabat) untuk meminta berkat dan restu, sambil memberikan sesaji, berupa seekor ayam atau kambing.

Eitt, tunggu sebentar! Sebelum mempertanyakan anak sekolah yang sedang masyuk dengan handphone-nya sambil ber-sms ria, seraya mengatakan “emang gue pikirin”, sebaiknya kita pertanyakan Wakil DPRD dan pejabat yang hadir pada saat itu—termasuk Gubernur—tentang pengetahuan mereka atas sejarah daerahnya sendiri. Pernahkah mereka mempelajari sejarah lokal perjuangan rakyat Jambi ketika duduk di bangku sekolah, dulu? Atau sejauh mana kebertahuan mereka tentang sejarah daerah yang mereka kuasai ini? Sehingga koreksi harus datang dari pelaku sejarah sendiri. Tidakkah pada waktu itu mereka insyaf, bahwa sekiranya data tersebut adalah salah?
Ah, daripada saling salah-menyalahkan, mending kita mempertanyakan guna sejarah bagi masyarakat luas dan tentunya juga bagi para pejabat. Misalnya, adakah dampak politis dari kesalahan penulisan data pada relief itu terhadap ‘gonjang-ganjing’ pilwako yang akan datang? Atau, adakah dampak sosial dari kesalahan penulisan data sejarah itu terhadap rasa lapar, penanggulangan banjir, perbaikan ekonomi warga, atau adakah kesalahan itu berdampak terhadap nilai ekspor hasil bumi yang mengalami inflasi? Tidak ada. Toh, kesalahan itu tidak berdampak apa-apa, kecuali bagi Usman Meng sendiri.
Beruntunglah Usman Meng yang pernah memanggul senjata itu, dan pernah meletuskan bedilnya ke arah gerombolan pasukan penjajah, cukup disegani. Sehingga suaranya terdengar sebagai letusan meriam. Sehingga orang-orang di sekitarnya kasak-kusuk saling menyalahkan. Dan, malanglah nasib seniman pembuat relief yang tak punya referensi dan tinjauan historis. Dan juga sejauh ini, koreksi itu dibenarkan, karena tidak mengandung muatan yang berdampak politis.
Namun, adakah dampak politis dari tidak tersebutkannya capaian-capaian yang telah diraih Pemkot Jambi dalam pidato Gubernur di depan khalayak pada 6 Januari lalu? Banyak. Salah satunya adalah dampak terhadap pencitraan dan legitimasi prestasi Pemkot Jambi. Dan ini jelas berpengaruh terhadap kepentingan politik dan kampanye pilwako yang akan datang. Siapa yang peduli, siapa yang kecewa? Banyak. Di antaranya adalah Walikota sendiri. Namun tidak bagi Gubernur yang kelelahan membacakan draf pidatonya. “Tidak mungkin semuanya harus disebutkan, bukan? Lagipula itu tidak ada dalam konsep pidato saya.” Ujarnya. Nah! Siapa yang salah? Siapa yang harus dikambinghitamkan? Lantas, apakah ini juga dapat dikategorikan kesalahan penulisan sejarah, karena sengaja tidak dituliskan dan disebutkan? Atau sengaja menutup mata terhadap sejarah?
“Tolong jangan dipolemikkan,” ujar Kabag Humas Setda Kota Jambi, setelah mengumpulkan sejumlah wartawan dan membacakan prestasi yang diraih oleh instansi tempat ia berdinas. Apa maksudnya, coba? Ah, politik dan sejarah, sesuatu yang paradoks di negeri ini. Sejarah ternyata masih saja akan dipelintir demi kepentingan politik.
* * *
Nurul Fahmy,

Februari 9, 2008 Posted by | essai | 2 Komentar

essai budaya

pada mulanya adalah kedele, bukan tempe
Oleh Nurul Fahmy
I
Tak pantas, mungkin,—karena juga bukan kapasitas saya—membicarakan standarisasi-standarisasi teater dalam centang perenang dunia perteateran di Indonesia yang dalam catatan Afrizal Malna lebih dari 80 persen kelompok-kelompok teater yang ada di ini negeri (mungkin) tidak pernah mendapatkan pendidikan teater. Namun, oleh semangat yang meletup-letup untuk tetap juga berteater, kelompok-kelompok itu kemudian tumbuh sebagai kelompok eksperimental non pendidikan formal atau pseudo-eksperimental, sebagaimana laiknya mahasiswa/siswa jurusan teater di perguruan tinggi/sekolah seni. Sehingga dengan sedikit ‘beringas’ Radhar Panca Dahana menyebutkan kondisi ini, “…sungguh berada pada titik nadir. Pada titik di mana seni ini berhenti, tak memperlihatkan tanda kemajuan, jumud, gelap (persembunyian dari invaliditas artistik), nirinovasi dan miskin kreasi….”(Kompas, 11/12/2005), serta superlatif negatif lainnya.
Tak pula pada tempatnya, mungkin, untuk sekedar melakukan sedikit ‘pembelaan’ atau toleransi terhadap yang partikular—jika masih ada dikotomi partikular-universal—dalam kondisi yang kian diperkeruh oleh arus dominan penulisan (kritik) teater yang telah teraneksasi pada satu kutub, sehingga ‘mustahil’ untuk menggiringnya ke kutub ‘yang lain’—yang justru lebih dulu ternegasikan oleh arus dominan itu—Meski saya yakin, di luar arus yang deras, mesti ada yang yang tersepelekan, teremehkan, dan dianggap sebagai unsur sekunder, tapi justru memiliki ‘kekuatan luar biasa’ yang ‘tak terpemenai’.

Tapi selalu ada saat yang tepat untuk membahas keterpesonaan ganjil atas totalitas seni pertunjukkan yang disebut-sebut mampu mengguncang; menjungkirbalikkan logika dan pemahaman, yang menteror mental, yang membuat terkerumuk, dan nyaris mengalami ekstase, sehingga tak mampu lagi membedakan siapa bertutur apa—pernyataan apa yang bisa diharapkan dari subjek yang nyaris lepas dari kesadarannya, sehingga ragu—atau tak tahu—apa yang telah membuat ia begitu terpesona, sebagaimana pernyataan dramatik Ratna Dewi (RD) akibat terpukaunya ia oleh monolog Putu Wijaya di GKJ—entah kapan—dalam tulisannya. Menulis Kritik Teater: Merayakan Pentas Kehidupan, (Jambi Ekspres, 3/2/2008). Tapi dengan serampangan membikin asumsi takes from granted berdasar apa yang ada dalam “rasa”nya—bukan kepala—saja).

Jika RD tidak menemukan relevansi yang holistik dari pernyataan saya beberapa minggu yang lalu, begitupun saya atas pernyataannya dalam tulisannya tersebut, yang tumpang tindih, yang tidak konsisten. Di satu waktu ia mengatakan begitu terpukau oleh Putu dan menganggap segenap pertunjukkan itu adalah pesan/gagasan, dan Putu adalah gagasan itu sendiri. Namun, dalam waktu bersamaan, ia juga menafikan teknik dan hubungan antarunsur dalam membangun “pesan verbal” pada pementasan itu; teknik ditolak, tapi diam-diam, pada saat yang sama justru diterima.

Ada kehendak menunggalkan makna yang tak diketahui asalnya di tengah subjektifitas, adalah kata yang tepat untuk menafsirkan perkara RD ini. Ketika melihat ayam saya ditubruk mobil, saya juga akan terkerumuk—meminjam bahasa Dewi—dan merasa logika saya telah dijungkirbalikkan dan diteror oleh drama satu babak “ayam ditabrak mobil” ini. Kemudian saya (juga bisa) berbisik—sambil tersedu—kepada seorang tetangga “inilah yang sebenar-benar teater,” kata saya. Bagaimana tidak, di dalamnya terdapat ragam unsur dalam teater, dan jelas mengandung sebuah hikmah—mungkin esok ayam saya akan diganti oleh Sang Sutradara dengan kambing, misalnya. Lantas apa yang membuat saya tetap terkerumuk? Tidak seperti RD yang menganggap seluruh peristiwa/pementasan itu yang membuatnya terkerumuk, saya mahfum—alih-alih menangisi ayam yang akan diganti dengan kambing—ternyata cara atau teknik (bukan hikmah!) Tuhan menyampaikan pesan itulah yang membuat saya (juga) terkerumuk

Dan teknik tidak melulu sesuatu yang mekanistik apalagi kaku. Teknik yang saya maksudkan bukan teknologi yang cenderung mendehumanisasikan kemanusiaan, membentuk watak dan tipikal mekanistis serupa mesin. Saya yakin, seni memerlukan teknik untuk mencapai tingkatan-tingkatan estetisnya. Sebab, jelas, seni tidak lahir dari hubungan serampangan berbagai unsur. Hubungan mereka adalah hubungan logis yang tak terelakkan; bahwa sesuatu tidak dapat dipahami, kecuali terkait sebagai sebab atau akibat dari hubungannya dengan yang lain. Hubungan-hubungan itu kemudian mengakhiri alurnya dalam sebuah struktur pemaknaan yang untuk sementara ini kita sebut sebagai estetika atau keindahan. Tapi tidak bagi RD, ia menampik kesementaraan. Ia merasa perlu segera menemukan makna verbal dari setiap karya seni, yang dianggapnya sebagai pesan, bukan pertanyaan.

Makna terkadang bukan sesuatu yang utuh apalagi tunggal, seperti dalam paham kebanyakan. Dalam banyak hal—khususnya karya seni—makna kadang berupa serpihan, residu, yang silang sengkalut, yang saling berbenturan, yang terkadang menyelip dan menyalip dalam peristiwa-peristiwa atau alur-alur sepele. Masing-masing bagian, masing-masing unsur membentuk konfigurasi maknanya sendiri-sendiri. Sehingga banyak tafsir yang dapat ditakik dari sana. Dan, beginilah jadinya, tak kan pernah ada makna tunggal dalam sebuah karya seni, seperti yang dielu-elukan oleh kaum strukturalis selama ini, termasuk juga, mungkin RD.

Namun, ketika saya mencoba mengurai hubungan-hubungan itu, mengurai sruktur dan menjadikannya residu untuk mencari “kebenaran lain”, kecurigaan muncul sambil menudingkan tunjukknya, dan mengatakan saya menegasikan pesan verbal dari akhir sebuah peristiwa. Mungkin kita perlu sedikit bertanya kepada sutradara, apa benar cuma ‘pesan’ yang ingin disampaikan oleh sutradara setelah melewati proses berbulan-bulan? Atau kepada aktor, apa benar ia telah merubah dirinya sebagai tukang kutbah dengan memberi segala macam petuah lewat karakter yang diperankannya? Saya pikir tidak itu benar yang mereka maksudkan.

Dalam teater, demikian Afrizal Malna mengatakan, ada dua hal secara institusional yang telah diubahnya. Inilah terutama yang menarik pada teater. Pertama, teater telah mengubah teks dari yang tertulis dan dibaca, menjadi teks yang dinyatakan dan yang diperankan. Kedua, teater mengubah pembaca menjadi penonton. Lantas, jika masih juga ngotot, mengharapkan pesan verbal atau gagasan moral tentang kehidupan dan lain-lain sebagainya, mengapa tidak membaca naskah itu saja, tanpa susah-susah datang ke gedung teater. Atau membaca leaflet kutbah Jum’at. Atau, menonton aksi teatrikal anggota dewan yang terhormat pada saat berorasi membela hak-hak ‘kita’, misalnya.
II

Pada mulanya adalah kedele, bukan tempe
Dari kacamata mana kita dapat menyamakan coretan gambar pemandangan anak SD—yang notabene minim pengetahuan atas teknik gambar menggambar—dengan lukisan pemandangan yang digoreskan almarhum Wakidi—sesepuh naturalis itu—yang so pasti telah menguasai serangkaian teknik, pengalaman, pemahaman, dan serangkaian try and error dalam mengulas kuas di atas medium gambar tersebut? Dus, siapa yang berani menyebutkan lukisan E.M Yogiswara selevel dengan lukisan saya, misalnya, yang memegang kuas saja kadang gemetar?
Bisa jadi, ketika saya melukis pemandangan alam—dalam ranah naturalis— pesan keindahan yang saya maksudkan tidak sampai, sebab banyak cat yang meluber keluar dari marjin. Atau, gambar matahari yang saya maksudkan ternyata berbentuk kepala kuda, misalnya. Namun begitu, saya, Wakidi, dan Yogiswara adalah sama-sama pelukis. Tapi beda saya dengan Yogiswara adalah; ia lebih menguasai teknik melukis, sehingga capaian estetisnya lebih jauh daripada saya yang tak tahu apa-apa tentang teknik melukis. Pun saya dengan Wakidi.

Tapi, mungkin begitulah sejatinya seni. Ada kehendak untuk mengkotak-kotaknya, ada kehendak untuk menggarisbawahinya, menjaga agar tidak luber ke mana-mana, namun selalu ada usaha untuk menerabasnya, selalu ada usaha untuk menembusnya, sejalan dengan pergerakan zaman yang meniadakan batasan ataupun pusat-pusat otoritas yang kerap mengekang kreatifitas. Namun, “semua harus dicatat, semua dapat tempat,” kata Cahiril Anwar.
III

Perlu benarkah mengidentifikasi sesuatu yang tak terkatakan dari sebuah pengalaman artistik?

Saya merasa telah terlalu jauh membahas suatu persoalan dalam tulisan sebelumnya Seharusnya saya menempatkan diri sebagai penonton yang baik ketika menikmati teater. Menyiapkan sapu tangan atau tissue—untuk menguras airmata—sekiranya ada adegan yang menyedihkan. Atau pergi dengan teman yang saya tahu pasti namanya—agar tak salah pukul atau salah bicara—ketika saya harus marah, tertawa, terkekeh ketika ada adegan menjemukan, lucu atau ironis.

Seharusnya saya tetap jadi penonton yang baik, tanpa pernah mau tahu bagaimana aktor tersebut mampu membuat saya menangis, bagaimana aktor mampu membuat saya tertawa, marah, kecewa. Atau, bagaimana tim artistik menata panggung, kostum pemain, bagaimana susahnya sutradara mengarahkan pemeranan, observasi, pendalaman karakter yang terkadang butuh waktu berbulan-bulan.

Saya tidak peduli. Saya hanya akan terus menstimulasi hasrat saya—hasrat phallogocentric; hasrat yang sarat nostalgia, namun tak mungkin terpenuhi—dengan harapan mencapai orgasme, tanpa perlu tahu saraf-saraf dan impuls apa yang bergerak dalam tubuh dan pikir saya. Dan setelah itu pulang—atau tertidur—sambil mengatakan, “puas, puas!!”

Tapi, sayang, saya kadung tahu. Bahwa, sungguh tak ada yang benar-benar selesai dari sebuah kejadian. Selalu ada yang terbengkalai. Dan selalu ada makna yang ambigu, yang akan mengundang sejuta tafsir.

Akhirulkalam. Dari layanan pesan singkat di ponsel butut saya, ada bait-bait frasa yang tak puitis saya kirimkan kepada RD, begini bunyinya:
“kita masing-masing memiliki satu kamar yang terkunci. Dan kita tak pernah benar-benar ingin masuk ke dalam kamarku atau juga kamarmu. Kemudian kita saling bercerita tentang sebuah kamar yang juga selalu terkunci dengan palang besi pada pintunya. Di titik ini, saya merasa kita telah terlempar pada suatu tempat yang sangat jauh, dan senyap. Tanpa ada siapa-siapa, kecuali kita.”

* * *

Nurul Fahmy,

Esai ini merupakan polemik antara

saya dengan Ratna Dewi di Jambi ekspres,

beberapa waktu silam

Februari 7, 2008 Posted by | essai | 2 Komentar