Nurulfahmy’s Weblog

maka biarkan aku menuliskan kata-kata

persoalan kritik seni

Oleh Nurul Fahmy

Tafsir terhadap teks atau peristiwa seni (teater) sepenuhnya akan berada pada audiens. Penonton dengan ragam horizonnya adalah penguasa tunggal atas tafsir dari suatu peristiwa seni. Namun cerita akan menjadi lain ketika ulasan, atau katakanlah kritik teater dihadirkan dalam bentuk tulisan ke dalam ruang baca kita.

Narasi (tafsir) tentang teater yang dihadirkan cenderung—disadari atau tidak—mengelaborasi atau justru menegasikan makna, dan semakin menjadi tak karuan bentuknya di kepala pembaca, sebab proses pembentukan resepsi ini akan tergantung sepenuhnya kepada sudut pandang dan horizon penulis (kritikus). Otoritas penonton dalam menafsir peristiwa (seni), dengan demikian telah tertransformasikan oleh penulis (kritikus) kepada pembaca.

Sepenuhnya ini adalah resiko. Reportase atau kritik pementasan dalam bentuk data tertulis bukan lagi rekaman sebuah peristiwa on the spot. Ia adalah analisa, sudut pandang, sekaligus cermin ketakberdayaan penulis (kritikus) ketika berhadapan dengan realitas yang kompleks, semisal pementasan teater. Tulisan kehilangan objektifitasnya sebab keterbatasan sudut pandang dan lebih lagi libido—hasrat untuk terus bereksistensi—parsial “si kritikus”. Padahal di sudut lain—di sudut yang tak terkatakan dan tak tertembusi oleh indra penulis—ada realitas yang di(ter)tekan, di(ter)sembunyikan, di(ter)abaikan, bahkan dianggap angin lalu, yang padahal belum tentu sepele bagi yang lain.

Memposisikan diri sebagai penonton sekaligus “kritikus” dalam sebuah peristiwa seni (teater) memang seperti memikul beban ganda. Ada semacam tanggung-jawab moral yang mesti dipikul dalam mentransformasi “pesan” sebuah peristiwa kepada pembaca. Tanggung-jawab serupa ini setidaknya musti diawali dengan cara pandang yang proporsional. Kritikus sedikitnya mesti mempunyai “kacamata tiga dimensi”—dalam terminologi Iqbal “mata rajawali”—yang mampu menangkap hal-hal lain yang “tak terjamah” oleh penonton kebanyakan. Dan menguraikannya kepada pembaca.

Disinilah sejatinya peran kritikus. Menerjemahkan karya dengan pisau analisa dan dengan cara pandang yang lain. Kritik bukan “vonis mati” atas karya seni. Kritik yang baik mengandung sejumlah pertanyaan, tawaran-tawaran dengan alternatif-alternatif jawaban yang meniscayakan kemungkinan-kemungkinan. Sebab keniscayaan seni sejalan dengan keniscayaan manusia yang relativitasnya sejalan pula dengan alam semesta. Bukan menjual “kecap nomor tiga” dengan berlindung pada disiplin ilmu atau latar belakang si kritikus. Dan kemudian dengan semena-mena menuding sebuah karya sebagai yang “jelek”, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya ia katakan, selain refleksi ketidakmengertian belaka yang berujung pada sikap apatis.

Kritikus seperti ini laiknya seorang yang menggebu datang ke sebuah kamar potong dengan bermodalkan sebilah pisau cukur dan berencana mendemonstrasikan tehnik mencukur bulu-bulu si kerbau kepada khalayak. Celakanya, yang dijumpainya bukan lagi seekor kerbau, melainkan satu unit traktor baja. Namun begitu, dipaksa-paksakan juga untuk mencukurnya, sembari berujar, “ah, kerbau sinting ini pasti sudah memakan besi, sehingga kulitnya keras begini, dan anehnya tak sehelai bulu pun melekat di tubuhnya.”

Dan jika ada pementasan teater yang ‘buruk’, sebagaimana yang kerap digunjingkan oleh para “kritikus”, maka tentu saja ada kritik yang buruk. Ulasan yang gagap. Tulisan yang tak mampu mengurai apa yang sebenarnya terjadi di atas panggung. ‘Kritik buruk’ ini lebih menjadi persoalan ketika banyak penulis atau kritikus telah (hanya) menjadikan salah satu unsur (subjektif), atau bahkan mengeneralisasi semua unsur ke dalam satu frame kritik atau reportase mereka secara banal. Kritik “basa-basi” ini bisa jadi mengundang skeptisme berlebihan terhadap karya seni, sebab terpenggal-penggal sedemikian rupa, sebab pandangan yang parsial itu. Seni kemudian berhenti menjadi barang hiburan belaka, tanpa nilai lain.

Jika sudah begitu, jadilah ini “dosa” para kritikus dan penulis. Sebab, sebagaimana kita mengharapkan pertunjukkan teater yang baik, yang masing-masing unsurnya bersinergis secara harmonis, yang membentuk kesatuan estetis yang sarat dengan pesan-pesan universal. Maka, pembaca semestinya juga menuntut hal yang serupa dari penulis (kritikus). Tidak dengan menonjolkan kekurangan salah satu unsur, tapi seketika itu juga menyembunyikan kelebihan unsur lainnya. Kritik kemudian tak lebih sebagai solilokui atau gumam ketidakmengertian penonton yang memetamorfosiskan dirinya sebagai “kritikus” terhadap realitas yang dihadapinya. Agaknya inilah maksud Marshall McLuhan dalam kata-katanya yang terkenal itu, “medium is message”. Tulisan merupakan representasi horizon sang “kritikus” yang tekstual dan banal.

Seharusnyalah kritikus bertopang pada nilai-nilai standar dan teori-teori baku dalam seni, namun tidak dengan begitu saja mengenyampingkan fenomena yang terjadi. Seni, termasuk juga di dalamnya teater, sebagaimana fenomena sosial lainnya, cenderung bergerak dan berubah. Kreatifitas menjadi landasan utama dalam berkesenian. Dengan kata lain, tak ada hal baku yang musti dipertahankan dalam karya seni, kecuali estetika itu sendiri dengan mengolahnya mengunakan nilai-nilai rasa. Untuk itu, memaksakan wacana seni dengan frame literer tentu berpotensi menjadi kejahatan normatif dan diskursif. Sebab, wacana seni seringkali hadir tidak secara verbal dan eksplisit, melainkan acap wujud secara metaforik.

Seketika saya teringat Sigmund Freud dengan Psikoanalisanya. Otoritas manusia dalam menafsir, memberi arti, baik dirinya atau sesuatu di luar dirinya tidak sepenuhnya otonom, demikian katanya. Kesadaran manusia berkelindan dengan ketaksadarannya. Ketaksadaran yang dihunjamkan dan dikonstruksikan sebelum kesadarannya tumbuh dewasa, dan sebagian lain ditentukan serta dikonstruksi oleh naluri insting libido untuk terus hidup. Marx dan para revisionisnya, semisal Lucac dan Gramsci kemudian “merampungkan” tesis ini dengan menyatakan, kesadaran manusia terkonstruksi oleh faktor eksternal dan klas-klas sosial yang berkuasa dan menguasai ketaksadarannya. Faktor eksternal itu—ekonomi, kondisi sosial, bahasa, budaya, ideologi dan sebagainya—setidaknya berperan dalam membentuk kesadaran sebagai manusia dalam relasi sosialnya.

Lantas, bagaimana jika ketaksadaran (bawah sadar) itu terbentuk—atau dibentuk—sebagai mental kaum-kaum “terperintah”, marjinal secara budaya oleh pola pendidikan warisan feodal-kolonial? Mental budak yang terbiasa diperintah dalam hierarki struktural dan relasi binner, sebab-akibat, baik dalam masyarakat maupun birokrasi lainnya yang berpengaruh terhadap “carabaca”-nya?

Jelas yang terekspresi darinya adalah sejenis “kemunafikan” (dalam istilah saya). Kemunafikan seperti ini—kemunafikan yang meluap akibat libido untuk terus survive dan bereksistensi—agaknya sering juga kita lakukan, tak terkecuali kritikus. Tapi pesimisme berlebihan jelas bukan satu-satunya jalan keluar, setidaknya Einstein, sebagai orang yang tahu bagaimana produktifnya akal atau nalar manusia dalam memecahkan problem kehidupan dan alam semesta pernah mengatakannya, sebagaimana dikutip Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya (Tempo, 15 Januari 2006). “Ada sifat dalam nalar yang membatasi pendekatan manusia kepada dunia. Bila kita tak berdosa kepada nalar, kita tak akan ke mana-mana.”

* * *

Nurul Fahmy,

Esais, tinggal di Jambi

foto lukisan berjudul “inikah demokrasi” . karya Hanafi, cat minyak di atas kanvas, 150X200cm. 2008. foto:faiz

September 29, 2008 - Posted by | essai

1 Komentar »

  1. Ambo yang mamasuak-an cerpen buya… dari pado “Persekongkolan Baik2” ambo masuak-an? Bantuaknyo buya harus mempelajari wordpress baliak. Ma foto tulisan iko? hah!!!

    Komentar oleh Esha Tegar Putra | Oktober 19, 2008


Tinggalkan komentar